TRADISI NYADRAN DI KALURAHAN SITIMULYO

Administrator 26 Maret 2022 07:22:44 WIB

Kalurahan Sitimulyo merupakan salah satu desa budaya di kabupaten bantul. Sehingga banyak sekali kegiatan-kegiatan budaya yang diselenggarakan. Salah satunya adalah tradisi nyadran.

Menurut sumber dari Wikipedia, Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah dan D. I. Yogyakarta. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan adalah:

  1. Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.
  2. Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.
  3. Melakukan upacara ziarah kubur, dengan berdoa kepada roh yang telah meninggal di area makam.

Nyadran biasanya dilakukan pada bula Ruwah atau bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa kepada Allah untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal. Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya.

Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima. Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.

Pada minggu ini beberapa padukuhan di Kalurahan Sitimulyo menyelenggarakan acara tradisi nyadranan. Acara nyadran berlangsung meriah penuh keakraban dan persaudaraan. Bahkan ada yang menyelengarakan nyadranan ini selama 21 hari di Bulan Ruwah ini.

Nyadran dilakukan oleh masyarakat Padukuhan Ngablak, Banyakan 1, Banyakan 2, Banyakan 3, Nganyang, Pagergunung 1, Pagergunung 2, Ngampon, Padangan, Cepokojajar, Kuden, Munggang, Karanggayam, Nglengis, Mojosari.

Komentar atas TRADISI NYADRAN DI KALURAHAN SITIMULYO

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas
 

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License